Pemilu raya Indonesia sebentar lagi akan segera dilaksanakan, berbagai partai mulai merapatkan barisan dan melakukan konsolidasi, dengan istilah yang kita ketahui bersama seperti rapimnas, harlah  atau istilah-istilah lain. Dan baru – baru ini, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) memilih tema Kopi Darat Nasional (KopdarNas), mungkin tema tersebut sengaja dipilih karena sejalan dengan mereka yang merasa sebagai partainya mewakili anak muda. 

Sekilas, saya mengikuti kopdarnas PSI melalui media sosial, tak lebih dari kumpulan para bro dan sist yang membicarakan serta menyindir salah satu partai besar yang kita tahu itu mengarah kepada partai apa. Pada periode awal pembentukan partai ini, saya menyukainya, karena mengajak para pemuda untuk melek politik. Saat itu saya meyakini partai ini akan besar karena gagasan serta menjadi partai ideologis sebagaimana Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Keadilan Sejahtera. Termasuk saat KopdarNas, saya menunggu gagasan apa yang ingin ditawarkan oleh PSI. Sayang, Sist Grace kemarin lebih menekankan bagaimana mereka menjadi korban Bullying dari Partai lain. 

Tetapi yang menarik dari acara tersebut yakni ketika PSI memperkenalkan gagasan “Jokowisme” kepada masyarakat dunia. Saat itu, saya belum bisa mengetahui apakah Jokowisme ini merupakan sebuah proyek ideologisasi untuk jalan politik PSI atau sekadar ingin mendulang suara dari pendukung Presiden Jokowi. Untuk menjawab kebingungan itu, saya membaca tulisan Andy Budiman, Waketum DPP PSI, berjudul “Memahami Jokowisme” yang dirilis melalui situs resmi partai.

Potensi Kesalahpahaman Terhadap Konsep ‘Jokowisme’

Setelah membacanya, saya menemukan bahwa inti tulisan Andy Budiman hanyalah ulasan dari sekian banyak pekerjaan Presiden Jokowi selama 10 tahun, baik kebijakan yang biasa saja maupun yang cukup unik. Dari ulasan sepak terjang tersebut, Andy Budiman lantas dengan gegabah menyimpulkan bahwa kebijakan dan perbaikan ala Presiden Jokowi adalah sesuatu yang baru.

Jika dipreteli lebih lanjut, pertama, Andy Budiman tidak menyadari bahwa penggunaan “isme”, dalam hal ini Jokowisme, mengandung konsekuensi yang tidak sederhana. Isme tidak sederhana dalam penjelasan yang disediakan KBBI sebagaimana telah Andy Budiman pakai secara serampangan dan mungkin dijadikan satu-satunya patokan. Ada pokok-pokok pikiran yang harus menjadi kerangka dasar dari sebuah sistem dan bangunan ideologi. Jika Jokowisme adalah sebuah ideologi—dan memanglah demikian sejak istilah “Jokowi” disandingkan dengan “isme”—maka pokok-pokok pikiran apa yang mendasarinya? Pemikiran-pemikiran Jokowi yang seperti apa yang akan dijadikan nafas perjuangan PSI sebagai penganut Jokowisme, apalagi di tengah banyaknya keraguan atas intelektualitas Jokowi.

Kedua, Andy Budiman tidak mau Jokowisme terkurung dalam ideologi-ideologi yang sudah ada sebelumnya. Artinya, bisa dipastikan bahwa ia ingin memperkenalkan Jokowisme sebagai sebuah pilihan alternatif dari sekian ideologi yang sudah ada. Namun selama 10 tahun Presiden Jokowi memimpin, rasanya tidak pernah ada pendekatan-pendekatan baru. Dalam beberapa kasus, Jokowi memang telah mengambil langkah berbeda, tetapi itu sama sekali tidak baru. Misalnya pembangunan infrastruktur yang merupakan program yang diprioritaskan oleh pemerintah Indonesia di era Jokowi. Itu bisa saja dianggap berbeda dengan program prioritas pada era pemerintahan SBY, tetapi, sekali lagi, bukan menjadi sesuatu yang baru. Sebab Soeharto pernah melakukannya pada era Orde Baru, atau Arab Saudi di bawah Pangeran Muhammad Bin Salman juga telah dan sedang melakukannya.

Anehnya lagi, Andy Budiman pada saat yang sama juga menulis, “Jokowisme bergerak melampaui sekat-sekat ideologi, luwes menyesuaikan diri sesuai keadaan”. Apakah ini berarti bahwa Jokowisme bisa saja mirip atau menjadi sama dengan kapitalisme pada satu waktu, kemudian bisa menjadi sosialisme pada waktu yang lain? Jika demikian, bukankah Jokowisme tidak memiliki perbedaan dengan oportunisme; sehingga dengannya pun ia terkurung dan batal melampaui sekat-sekat ideologi. Baiknya jika Andy Budiman tanyakan kembali kepada yang ia kutip,  Daniel Bell, apakah ideology benar-benar sudah mati atau belum.

Ketiga, Andy Budiman yang mengutip perkataan Deng Xiaoping, “Tidak penting kucing hitam atau putih, yang penting kucing itu bisa menangkap tikus”. Perkataan Deng ada benarnya, apalagi selama ini sepak terjang Jokowi dalam bekerja dan memecahkan suatu masalah di birokrasi setali tiga uang dengan perkataan itu, tapi itu Xiaoping. Jika kembali kepada sejarah tentang perseteruan Deng Xiaoping dan Mao Tse Tung, dimana Mao mengatakan jika Deng tak lebih dari antek kapitalisme karena mencetuskan ide ekonomi pasar disaat yang bersamaan Mao Tse Tung sedang menerapkan ekonomi proletar. Patut dipertanyakan kembali antara isme yang ditawarkan oleh PSI ini dengan sesuatu yang tersembunyi dibalik perkataan Deng Xiaoping yang dikutip oleh Andy Budiman.

Saya menganggap Andy Budiman dan PSI tidak memperhitungkan secara matang tentang penggunaan isme ini, seolah olah menjadi kelompok yang paling memahami Presiden Jokowi, mereka lupa bahwa masih ada Ibu Negara, Iriana Jokowi yang jauh lebih paham terhadap Presiden. Bagaimanapun keinginan PSI, saya tetap bersyukur pernah dipimpin oleh seorang Presiden bernama Jokowi. Tetapi tidak dengan “isme” yang ditawarkan oleh PSI. 

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *