BAJABARU.com – Sejak November 2023, gelombang pengungsi Rohingya terus berdatangan ke pantai Sabang, Aceh, Indonesia, menambah deretan kisah penderitaan yang mengguncang hati kita.

Menurut laporan dari Badan Pengungsi PBB (UNHCR), hingga 31 Oktober 2023, lebih dari satu juta warga Rohingya telah mencari perlindungan di berbagai negara. Namun, melalui perjalanan panjang dan penuh kesulitan, ratusan pengungsi Rohingya memilih Aceh sebagai tempat perlindungan.

Asal Usul dan Sejarah Etnis Rohingya: Di Zona Konflik Myanmar

Sejak berabad-abad lamanya, Rohingya, kelompok etnis Muslim, telah menjadi bagian dari keragaman sosial di Myanmar. Namun, status minoritas mereka menjadi rumit karena mayoritas penduduk Myanmar menganut agama Buddha. Pemerintah Myanmar sendiri telah lama menyangkal kewarganegaraan Rohingya, mengklaim bahwa mereka adalah imigran ilegal dari Bangladesh.

Sejarah panjang masyarakat Rohingya dimulai pada tahun 1420 ketika mereka tinggal di daerah Arakan yang dipimpin oleh Raja Suleiman Shah, seorang raja Buddhis bernama Narameikhla sebelumnya.

Pada tahun 1784, kekuasaan kerajaan ini diambil alih oleh Raja Myanmar, dan pada tahun 1824, Arakan menjadi koloni Inggris. Ini menjadi periode sulit bagi Rohingya, terutama selama penjajahan Inggris dan serangan Jepang pada tahun 1942.

Setelah Myanmar merdeka pada tahun 1948, konflik antara pemerintah dan Rohingya semakin memuncak. Warga Rohingya ditolak menjadi warga negara Burma, dan pengucilan terhadap mereka menjadi nyata.

Perlakuan Buruk dan Kekejaman Terhadap Rohingya: Genosida yang Dibantah

Ketidakmampuan Rohingya untuk mendapatkan kewarganegaraan di Myanmar menjadi pemicu bagi perlakuan buruk yang tak manusiawi. Mereka menjadi sasaran pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan, dan ancaman lainnya dari warga setempat.

Pada awal 2017, Rohingya menjadi populasi Muslim terbesar di Myanmar dengan sekitar satu juta jiwa, sebagian besar tinggal di negara bagian Rakhine.

Peristiwa yang mencengangkan terjadi pada 25 Agustus 2017, ketika pasukan militer Myanmar melakukan aksi brutal, menghancurkan desa warga Rohingya dan menewaskan ribuan orang.

Komunitas internasional dengan cepat bereaksi, dan PBB menyatakan bahwa tindakan tersebut mengindikasikan niat genosida terhadap Rohingya. Meskipun Myanmar menolak tuduhan ini, International Criminal Court (ICC) melakukan penyelidikan.

Akibat peristiwa tersebut, mayoritas warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh pada tahun 2017. Namun, kehidupan mereka di kamp pengungsi Cox’s Bazar tidak memberikan solusi jangka panjang.

Rohingya di Bangladesh: Keamanan yang Meruncing dan Keterbatasan Hidup

1. Ancaman Keamanan di Kamp Cox’s Bazar
Keamanan di kamp Cox’s Bazar semakin memprihatinkan, dengan adanya penculikan, pemerasan, pembunuhan, penembakan, dan serangan oleh geng kriminal dan kelompok bersenjata Islamis. Laporan Human Rights Watch 2023 mencatat serangan terhadap kamp pengungsi pada malam hari, meningkatkan ketidakamanan bagi pengungsi Rohingya.

2. Krisis Kemanusiaan: Kurangnya Sumber Makanan
Pada awal tahun ini, Program Pangan Dunia (WFP) memotong jatah makanan para pengungsi Rohingya. Mereka sekarang hanya mendapatkan jatah sebesar 8 dolar atau sekitar Rp124.000 per bulan. Kondisi ini membuat mereka kesulitan bertahan hidup, mengingat makanan adalah sumber kehidupan mereka.

3. Keterbatasan Pekerjaan dan Pendidikan
Pengungsi Rohingya di Bangladesh menghadapi batasan serius dalam mengakses pekerjaan dan pendidikan. Mereka tidak diizinkan untuk bekerja atau bersekolah secara layak karena pihak pemerintah tidak ingin mereka berintegrasi ke dalam masyarakat umum. Bahkan, mereka juga dilarang belajar bahasa Bengali, bahasa utama masyarakat Bangladesh, membatasi peluang mereka untuk beradaptasi.

Kembali ke Aceh: Pengungsi Rohingya Mencari Perlindungan yang Lebih Baik

Dengan kehidupan yang sulit di Bangladesh, ratusan Rohingya kembali melarikan diri, kali ini mencapai wilayah pantai Sabang, Aceh. Langkah putus asa ini didorong oleh kondisi keamanan yang meruncing, krisis pangan, dan keterbatasan akses pekerjaan serta pendidikan di kamp-kamp pengungsi.

Meskipun terjadi lonjakan pengungsi Rohingya sejak November 2023, tantangan kemanusiaan masih belum berakhir. Komunitas internasional perlu bersatu untuk menangani akar masalah di Myanmar, memberikan perlindungan bagi para pengungsi, dan merespons krisis kemanusiaan yang semakin meluas.

Hanya dengan kolaborasi global, kita dapat memberikan harapan bagi Rohingya dan masyarakat dunia yang berjuang untuk perdamaian dan keadilan.

Saat kita bersaksi atas penderitaan yang dihadapi oleh Rohingya, mari kita bersatu dalam upaya membawa perubahan. Sampaikan suara Anda kepada pemimpin dunia, dorong kebijakan kemanusiaan yang kuat, dan berikan dukungan finansial kepada organisasi amal yang bekerja di lapangan.

Bersama, kita dapat menciptakan dunia yang lebih adil dan manusiawi bagi semua.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *